Meskipun hanya seperempat dari penduduknya memiliki akses ke internet di rumah, Indonesia adalah salah satu dari lima pasar media sosial terbaik di dunia. Sebuah laporan baru-baru ini yang berjudul “Gambaran Umum Pertumbuhan Digital 2017” menyatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan pertumbuhan tercepat dibandingkan dengan jumlah pengguna internet saat ini dibandingkan dengan 2016. Negara ini hampir tiga kali di atas rata-rata global, dengan pertumbuhan 51 persen per tahun.
Indonesia juga berada di urutan keempat dalam jumlah pengguna Facebook tertinggi, hanya di belakang Brasil, India, dan Amerika Serikat.
Jelas ada alasan yang berbeda untuk popularitas media sosial di kalangan orang Indonesia. Tetapi faktor yang paling penting adalah aksesibilitas perangkat internet mobile - kebanyakan smartphone, yang telah dua kali lipat dalam penggunaan selama beberapa tahun terakhir - ditambah dengan paket data yang terjangkau. Kondisi ini memungkinkan setiap orang untuk secara bebas mengakses, mengambil, dan berbagi konten apa pun yang tersedia di internet. Ini sesuai dengan laporan tersebut, yang menemukan bahwa Indonesia memiliki pertumbuhan penggunaan media sosial mobile tertinggi ketiga di dunia.
Menikmati artikel ini? Klik di sini untuk berlangganan akses penuh. Hanya $ 5 sebulan.
Selain manfaat nyata yang didapat dari terkoneksi secara online, media sosial telah membawa sejumlah konsekuensi negatif bagi masyarakat Indonesia - khususnya, meningkatnya pelanggaran media sosial dan pelanggaran etika.
Tokoh publik juga semakin menjadi pelaku pelanggaran etika di platform media sosial. Contoh paling baru dan menonjol melibatkan komedian Indonesia Uus dan Ernest Prakasa; kedua individu baru-baru ini mendapat kecaman keras setelah melakukan tuduhan palsu terhadap kepribadian Islam di akun media sosial mereka.
Memang, pelanggaran etis pada platform media sosial baru-baru ini berada di bawah pengawasan ketat di Indonesia karena kasus seperti itu sekarang menjadi lebih lazim di kalangan pengguna media sosial. Pelanggaran etis mengacu pada berbagai tindakan, termasuk menyebarkan informasi palsu, pencemaran nama baik, penindasan, perjudian, mengunggah foto-foto orang yang meninggal, memaki, menghasut kebencian, penipuan belanja online, dan banyak lagi.
Dalam beberapa bulan terakhir, tipuan dan berita palsu khususnya telah menjadi masalah besar di Indonesia, bertepatan dengan pemilihan gubernur Jakarta yang diperebutkan. Bahkan, berbagi berita palsu telah meningkatkan ketegangan etnis dan politik di antara pengguna media sosial Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa fenomena negatif yang berkembang membutuhkan respons konkret dan seketika dari pemerintah. Dalam hal itu, sangat penting untuk memulai dan mensosialisasikan literasi media sosial sehingga setiap orang yang memiliki akses ke media sosial dapat menggunakannya dengan bijak dan tepat.
Sayangnya, saat ini pemerintah Indonesia tidak memiliki kurikulum standar tentang literasi media sosial. Upaya yang ada untuk mempromosikan literasi media sosial di Indonesia masih terbatas pada gerakan tidak terstruktur yang dilakukan melalui seminar, roadshow, dan kampanye media sosial.
Literasi media sosial tidak dapat disampaikan secara memadai hanya dalam seminar dua jam atau dalam kampanye selama seminggu. Seperti yang telah banyak disarankan, cara paling efektif untuk mewujudkan pendidikan literasi media sosial yang efektif adalah memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Langkah seperti itu akan memungkinkan warga, bahkan dari usia yang sangat muda, untuk sepenuhnya melek huruf di era digital. UK, Jerman, Kanada, Prancis, dan Australia adalah contoh negara yang telah mengintegrasikan literasi media sosial ke dalam kurikulum nasional mereka.
Pengalaman negara-negara di atas dapat menjadi dasar untuk refleksi ketika pemerintah Indonesia mengembangkan dan mengimplementasikan pendidikan literasi media sosial berdasarkan norma dan nilai-nilainya sendiri. Meskipun sejumlah program literasi media sosial telah diprakarsai oleh beberapa entitas di negara ini, upaya tersebut perlu disertai dengan langkah-langkah konkret dari pemerintah, termasuk memasukkan literasi media sosial ke dalam kurikulum nasional.
Muhammad Zulfikar Rakhmat is a Ph.D. researcher at the University of Manchester.